Ingin melihat Asimilasi Sukses Islam-Tionghoa-Jawa? Datanglah ke Lasem

REPUBLIKA.CO.ID, REMBANG - Kebanyakan orang mengenal Lasem hanya sebagai sebuah kota kecil di lintasan jalan Pantai Utara Jawa, berada di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dan daerah penghasil batik tulis khas pesisiran. Sebanyak 47 perajin batik juga menempatkan Lasem dikenal dari batik tulisnya. Masyarakat Sejarawan Indonesia Kabupaten Rembang menyatakan bahwa motif dan warna batik tulis Lasem yang dominan dengan warna merah, sejatinya merupakan pertautan antara budaya Tionghoa dan Jawa.

"Dari selembar batik Lasem, tersimpan kisah tentang ada pembauran etnis dan budaya," kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kabupaten Rembang, Edy Winarno, Selasa.
Menurut Edy, batik tulis Lasem ada sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho sekitar tahun 1413. Saat itu, batik tulis Lasem sudah mendapat tempat penting di sektor perdagangan. Para saudagar mengirim batik Lasem ke berbagai pulau di Nusantara.

Batik tulis Lasem juga masih berjaya hingga era 1970-an bersama lima daerah penghasil produk batik lainnya di Indonesia, yakni Surakarta, Cirebon, Yogyakarta, Pekalongan, dan Banyumas.
Njoe Tjoen Hian alias Sigit Witjaksono, salah seorang pemerhati sejarah Lasem yang juga perajin batik tulis berasal dari Desa Babagan Kecamatan Lasem menuturkan dulu pemasaran batik Lasem tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor dan Singapura, red.), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname.
"Suriname termasuk yang terbanyak. Dulu, hampir tiap bulan ayah kami mengirim batik hingga 500 lembar kain," katanya.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang Edy Winarno menambahkan Lasem bukan sekadar batik. Sebab, ketika terjadi geger China pada 1740, Lasem menjadi titik pusat perlawanan China terhadap Belanda.
"Perlawanan itu dipimpin Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono dan Tan Kee Wie," katanya.
Lasem juga dikenal sebagai titik penyelundupan senjata api dari Singapura.

Perpaduan Islam - China

Menurut dia, berdasarkan catatan Pramoedya Ananta Toer, senjata dipasok kepada pelarian wanita bangsawan keraton di Rembang, yang selanjutnya dikirim ke pasukan Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa I pada tahun 1825-1830.
Tidak hanya itu. Lasem juga menjadi saksi perpaduan budaya Islam dengan budaya China. "Adalah Bi Nang Un, seorang China Muslim bermashab Hanafi, utusan Dinasti Ming yang berasal dari wilayah Yunan yang mengajarkan Islam. Ia kemudian mendirikan perkampungan China di Lasem. Baru setelah itu, gelombang kedatangan orang China berikutnya didominasi orang Hokkian yang menganut agama Kong Hu Cu," kata Edy.

Bukti perpaduan budaya Jawa-Tionghoa, budaya Islam-Tionghoa, dan prasasti pergerakan melawan penjajah mengupayakan kemerdekaan bisa dirunut dari kisah perjuangan Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oey Ing Kiat), seorang Adipati Lasem (1727-1743) dan Mayor Lasem (1743-175), Raden Panji Margono, Putra Tejakusuma V, Adipati Lasem (1714-1727), yang seorang pribumi dan Tan Kee We, seorang pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem.
Pengaruh budaya China pun terasa mendominasi pada banyak segi kehidupan di kota dengan luas 4.504 hektare dan dihuni sekitar 50.000 jiwa itu. Banyak peninggalan bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah-rumah tua berarsitektur China, sebagian telah kosong dengan kulit mulai terkelupas dan ditumbuhi lumut hijau.
"Karena sejumlah keunikan itu, seorang peneliti Eropa menyebut Lasem sebagai 'The Little Beijing Old Town'. Sementara peneliti Perancis menjuluki Lasem 'Le Petit Chinois', keduanya bermakna China Kecil," katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Kauman Lasem KH Zaim Ahmad Ma'shoem (Gus Zaim) menyebutkan, pembauran etnis di Lasem telah menelurkan proses asimiliasi dan akulturasi budaya yang saling memengaruhi. Ia mencontohkan, rumah warga China di Lasem tak murni berarsitektur China.
"Tingginya nilai toleransi antar warga ini lah yang kemudian menjadikan kehidupan antar beragama menjadi berkembang," katanya.
Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid pada Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Rembang Hj Ruchbah menyebutkan, meski warga Lasem memiliki cukup banyak etnis Tionghoa, jumlah pondok pesantren di wilayah itu justru terus bertambah.
Ia menyebutkan hingga 2011, tercatat ada sebanyak 23 pondok pesantren yang menampung ribuan santri lokal, luar Rembang bahkan luar Pulau Jawa.
"Bagi pendatang yang baru kali pertama berkunjung ke Lasem, dimungkinkan akan sulit membedakan mana warga keturunan Tionghoa dan pribumi. Sebab, semua sudah membaur," katanya.
Selanjutnya....

Bangunan Kuno Lasem Terancam Modernisasi

Puluhan bangunan berarsitektur China kuno berusia ratusan tahun di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, masih setia bersaksi atas kesejarahan dan kejayaan Lasem pada masa lalu. Rumah-rumah tua itu kini sebagian telah kosong dengan kulit tembok mulai terkelupas dan ditumbuhi lumut hijau. 

Puluhan rumah berlanggam China kuno dengan mudah dijumpai di Desa Babagan, Gedongmulyo, Karangturi, Soditan, Sumbergirang, dan Ngemplak. Sebagian besar bangunan itu masih terpelihara dengan baik walaupun ada sebagian yang dibiarkan terbengkalai. Banyak bangunan tua itu yang ditinggal penghuninya.

Dari puluhan bangunan kuno di Lasem, rumah tua berukuran besar milik keluarga Lie Bing Hien yang berada tak jauh dari pertigaan Pasar Lasem, tampak berbeda dari rumah kuno lainnya.
Pemilik rumah, Hartono, yang merupakan keturunan keenam Keluarga Lie Bieng Hien, telah menyulap bagian kanan rumah tua itu menjadi warung telepon dan warnet. Ia juga berencana membuka usaha lain di rumah bagian belakang sembari menunggu pembeli yang berminat.
“Jika ada yang berminat, rumah ini akan kami jual. Lasem sudah sepi. Usaha juga relatif sulit. Sebagian keluarga kami bahkan sudah pindah ke Semarang,” kata dia.
Padahal di dalam rumah yang dibangun tak lama setelah Herman Willem Daendels menyelesaikan paruh jalan Semarang-Panarukan dari proyek jalan Anyer-Panarukan pada tahun 1800-an, masih ditemui artefak peninggalan generasi pertama pemilik rumah. Seperti perabotan kuno, ubin kusam, dan sumur dalam kering di bagian belakang.
Namun, berbeda dengan bangunan kuno bekas gudang candu di Desa Soditan. Bangunan berupa rumah berarsitektur Tiongkok dan menyimpan bukti-bukti perdagangan candu dan kejayaan pelabuhan internasional di Sungai Lasem itu baru saja dilakukan konservasi oleh pemiliknya.
Bangunan yang dikelilingi tembok besar tersebut berada di lahan seluas 5.500 meter persegi. Bangunan terdiri dari rumah induk di bagian depan dan rumah tempat tinggal serta gudang di bagian belakang. Di rumah induk berubin merah terdapat altar atau meja abu dari jati berukiran khas Tiongkok. Di bangunan itu juga terdapat sumur sedalam sekitar 1,5 meter yang menyambung ke selokan bawah tanah menuju Sungai Lasem.
Rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal merupakan rumah bertingkat dua berlantai kayu jati. Di depan rumah itu terdapat jangkar baja berukuran sekitar 2 meter yang diduga dari salah satu kapal Laksamana Cheng Ho. Di kompleks bangunan itu terdapat pula makam keluarga. Makam itu berciri khas siang gong (satu kuburan dua liang lahat) dengan hiasan relief, patung anjing langit, dan dua buah tiang berujung kuncup teratai.
Generasi keenam pemilik rumah itu, Subagyo, memilih melakukan renovasi rumah itu sebagai langkah konservasi senilai Rp150 juta atas prakarsanya sendiri.
“Saya tetap akan mempertahankan nilai sejarah bangunan ini. Saya malah berencana menjadikan rumah itu sebagai salah satu contoh rumah budaya Tiongkok di Lasem,” kata dia.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kabupaten Rembang, Edi Winarno, mengatakan puluhan bangunan kuno di Lasem perlu diselamatkan.
“Sebab pergeseran sikap dan mentalitas para penghuni atau pemiliknya bisa berubah sebagaimana tuntutan masa kini. Modernisasi mengancam kelestarian bangunan kuno Lasem,” ujar dia.
Menurut dia, bangunan-bangunan kuno itu merupakan bukti sejarah, sehingga perlu dilindungi. Bangunan-bangunan itu juga merupakan prasasti pertautan budaya Tionghoa dan Jawa serta akulturasi Islam dan Tionghoa yang berlangsung harmonis.
“Semoga Lasem seberuntung kawasan kota tua Jakarta dan kawasan Lawang Sewu Semarang yang berhasil diselamatkan. Kami tidak berharap bangunan-bangunan kuno itu dijual oleh pemiliknya atau hilang digerus modernisasi. Pemerintah perlu bertindak. Konservasi perlu dilakukan,” kata dia.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah dijadwalkan akan melakukan pendataan ulang situs sejarah dan bangunan kuno di wilayah Kecamatan Lasem untuk keperluan registrasi benda-benda cagar budaya nasional.
“Inventarisasi situs sejarah dan bangunan kuno di wilayah Lasem oleh BP3 Jateng akan dilakukan pada pertengahan pekan ini. Inventarisasi dilakukan sekaligus untuk menentukan langkah konservasi,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Rembang Noor Effendi.
Menurut dia, pendataan ulang diharapkan akan bisa menguak jumlah terkini bangunan kuno Lasem, termasuk mengungkap nilai kesejarahan rumah-rumah kuno milik warga keturunan Tionghoa di Lasem.
Pendataan ulang akan memudahkan pihaknya untuk menentukan langkah konservasi agar bangunan-bangunan kuno dan situs sejarah Lasem tidak hilang ditelan perkembangan zaman.
“Kami masih memiliki semangat untuk menyelamatkan situs sejarah dan bangunan-bangunan kuno Lasem sebab itu bukti luhurnya budaya masa lalu. Meski harus kami akui bahwa konservasi memerlukan biaya besar, namun pembiayaan masih bisa diperoleh dari berbagai sumber,” kata dia.
Sumber : ANT
Selanjutnya....

Islam Arab atau Islam Cina?

Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam.
OLEH: BONNIE TRIYANA
 
BEBERAPA teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.

Agaknya teori-teori klasik itu menyandarkan validitasnya pada lapoan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi′i. Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari. Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

M.C. Ricklefs memiliki serangkaian intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia.
Sampai dengan awal abad ke-14 M, Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.
Kekuatan politik itu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.

Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M. Dalam hikayat ini diceritakan tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.
Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya cara mengucapkan dua kalimat syahadat.

Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.
Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga). Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.
Dari keseluruhan historiografi tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.

Kembali kepada persoalan diskursus teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.
Juga perlu dicatat kiranya tentang dua dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan,  kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.

Naskah kedua berisi tentang primbon yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.
Dalam historiografi Indonesia, teori klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana. Pelarangan versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara.

Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas
Selanjutnya....

Rekonstruksi Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa

Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).


Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas. Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia.
Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak—terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.
Nah, pelacakan Sumanto dalam buku ini tidak berhenti di situ. Ia mendapati bahwa pada nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa. Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun.
Dengan ditemukannya beberapa fakta sejarah di atas, seharusnya etnis Cina mendapatkan perlakukan yang proposional dari pihak pribumi, khususnya warga muslim. Sikap ramah perlu mereka tunjukkan kepada mereka, sebagaimana sikap terhadap warga negara Indonesia asli keturunan Arab, India, atau Eropa. Namun yang terjadi sepanjang sejarah dan saat ini justru sebaliknya. Pada etnis Cina sebagai komunitas etnis, di mata masyarakat telah melekat sifat-sifat yang mengandung unsur peyoratif seperti kikir, eksklusif, hingga identik dengan Konghuchu. Inilah sebagian pandangan yang diwariskan pihak Belanda kepada masyarakat Jawa di saat institusi kolonial itu mulai mengukuhkan hegemoninya di negeri ini. Sikap antipati yang diwarisi dari Belanda itu berawal dari hubungan harmonis yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik pada zaman Belanda mulai menjajah Indonesia. Demi melihat itu semua, kontan Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, Jendral Andrian Valckeiner, mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada bulan oktober tahun 1740. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi pertikaian yang disulut oleh semangat anti-Cina. Ini belum lagi ditambahkan berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang melampiaskan objek kemarahannya pada etnis Cina pada umumnya.
Tidak hanya berhenti disitu, setelah peristiwa 1740, VOC mengeluarkan kebijakan yang disebut passenstelsel, yakni keharusan bagi setiap orang Cina untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun “gettho-gettho” berupa pecinan sebagai tempat tinggal. Kedua kebijakan tersebut bermaksud agar mereka mudah diawasi dan dikontrol. Inilah salah satu bentuk politik rasialisme anti-Cina pertama di Jawa, yang lambat laun menciptakan status “in-group” dan “out-group” dalam lapisan masyarakat.Kategori ini kelak menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi Cina dengan pribumi.
Namun argumen yang dipaparkan di atas bukan berarti melegitimasi etnis Cina—baik muslim maupun non muslim—untuk meminta penghargaan atas kontribusi nenek moyang mereka atas islamisasi Jawa, dengan penghormatan yang layak tanpa memperbaiki sikap dengan cara menunjukkan iktikad baik dalam bersosialisasi dengan pribumi. Yang seharusnya terjadi di antara etnis Cina—muslim dan non muslim—dengan pribumi adalah simbiosis mutualisme.
Para sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa, umumnya berangkat dari kenyataan sejarah bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik. Sedangkan penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal (local tradition).
Daerah yang dijadikan sebagai objek kajian oleh Sumanto adalah Jawa. Satu hal yang membedakan antara tesis yang dihasilkan penulis buku ini dengan Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Objek kajian yang diteliti Azyumardi Azra adalah Sumatra, selain faktor waktu yang diteliti oleh keduanya juga berbeda. Hanya saja, itu semua tidak mengurangi nilai penting buku ini sebagai sebuah dokumen analisis sejarah. Buku ini mencoba memotret lebih jauh peranan yang dimainkan etnis Cina-muslin dalam proses islamisasi Jawa pada bentangan abad XV dan XVI. Tujuan buku ini, dengan menganalisis dan mengungkap sisi sejarah masa itu, diharapkan sentimen primordialistik dan semangat anti-Cina yang sudah lama mengakar di dalam persepsi masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit dapat berkurang atau hilang sama sekali. Semoga saja!
Selanjutnya....

Perjalanan Tionghoa Muslim di Sulawesi Selatan

MENDENGAR sebutan Cina Muslim atau Tionghoa Muslim bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di Sulawesi Selatan, masih asing, lantaran mayoritas warga ini dikenal sebagai sub etnis yang menganut kepercayaan non-Islam. Meskipun di Makassar masyarakat Tionghoa Muslim sudah cukup banyak, baik dari keturunan Tionghoa totok maupun peranakan.



Berbeda di negara asal mereka, Cina, agama Islam telah dikenal sejak abad ketujuh pada masa kekuasan Dinasti Tang, ketika seorang duta Khalifah III Usman bin Affan, Saad Ibnu Abi Wakkas, yang masih kerabat Nabi Muhammad saw berkunjung ke Cina. Sa'ad diterima oleh Kaisar Cina tanggal 25 Agustus 650 M bertepatan, 2 Muharram 31 H. Utusan tersebut memperkenalkan kepada Kaisar tentang negeri Arab dan agama Islam yang dianut oleh penduduknya. Saat itulah dicatat sebagai awal kelahiran Islam di Cina.


Masa itu kerajaan Cina dipimpin Yung-Wei yang memberi kebebasan kepada masyarakatnya memeluk agama sehingga pengajaran tentang Islam berlangsung bersama pengajaran Konfucius dan dibangun Masjid Ch'ang-an, sebagai masjid pertama.

Penyebaran agama Islam di Cina berkembang sejalan dengan arus perdagangan Cina- Arab. Banyak pedagang Arab beragama Islam datang ke Cina, baik secara berkelompok maupun perorangan. Ada yang menikah di sana dan anak keturunannya memeluk agama Islam turun temurun. Di Cina berkembang industri sutra dan porselin. Di pihak lain mereka butuh wangi-wangian, manik-manik, dan batu permata dari Arab. Sehingga jalur perdagangan ini dikenal dengan nama Jalur Sutra (Silk Road).
Zaman keemasan Islam di Tiongkok tercapai permulaan pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Pada masa itu Islam maju pesat setelah dianut selama 700 tahun. Islam yang mulanya dianggap sebagai suatu kepercayaan asing di Cina sudah diterima sepenuhnya dalam masyarakat.Penganut agama Islam berbaur dengan masyarakat Cina dan menyesuaikan nama mereka dengan nama Islam. Nama nama keluarga Mo, Mai, dan Mu, diganti menjadi Muhammad, Mustafa, dan Masoud. Hu diganti jadi Husen, atau Sai menjadi Said.

Saat Dinasti Ching (1644-1911 M) berkuasa, terjadi perubahan keadaan di Cina, khususnya terhadap penganut agama Islam, orang-orang Han, Tibet, dan Mongol. Kerajaan menerapkan pembagian wilayah yang ketat terhadap kelompok tersebut sehingga mereka saling menaklukkan dan mempertahankan wilayah masing-masing dan mendorong perasaan anti-Muslim dalam masyarakat.
Ketika Dinasti Manchu berkuasa (1911), Sun Yat Sen menjadikan Cina sebagai negara republik. Dia mengumumkan bahwa Cina terdiri atas masyarakat Han, Hui (Muslim), Man (Manchu), Meng (Mongol), dan Tsang (Tibet).

Setelah Mao Zadong melakukan revolusi tahun 1948 untuk mendirikan negara komunis, kaum Muslimin berjuang untuk memperoleh daerah agar mereka dapat mayoritas dan secara aktif berjuang melawan tekanan komunis. Hingga tahun 1953 kaum Muslimin telah dua kali memberontak untuk mendapatkan daerah yang dituntutnya, namun tentara komunis Cina memberantas secara brutal disertai propaganda anti-Muslim. Revolusi Kebudayaan yang diumumkan pemerintahan Mao Zedong menjadi teror bagi umat Islam ketika itu. Revolusi itu bermaksud membumihanguskan segala bentuk kebudayaan non-Cina, termasuk Islam. Sekitar 30 ribu orang Islam dijadikan tenaga kerja paksa, imam-imam dan pemimpin agama disiksa dan dihinakan di kandang-kandang babi, sekitar 29 ribu masjid ditutup, siswa sekolah Islam dipindahkan ke sekolah yang hanya mengajarkan tentang Marxisme dan Maoisme.Setelah kematian Mao Zadong, kekuasaan pemerintahan komunis meredup. Cina menjadi negara liberal sehingga Islam kembali tumbuh dan berkembang subur.

Dewasa ini, masyarakat Muslim di Cina sekitar 20 juta jiwa yang tersebar di 10 suku bangsa. Penganut terbesar adalah orang Hui yang lebih separuh dari jumlah tersebut tersebar di sepanjang negeri Cina. Konsentrasi orang Hui dapat ditemukan di Provinsi Ningsia bagian utara. Agama Islam juga dianut suku bangsa pengguna bahasa Turki atau ras Turki yang meliputi orang-orang Uygur, Urbek, Kazakh, Kirgiz, Tatar, Tajik, Sala, Padan, dan Dongxiang. Hampir semua penduduk Muslim dapat ditemukan di bagian barat Kansu dan Xinjiang. Penduduk Uygur di Provinsi Xinjiang adalah populasi Muslim terbesar, mencapai 60 persen dari jumlah penduduknya.

Muslim Pengelana

Membahas perkembangan agama Islam di Cina, khususnya yang berhubungan dengan Indonesia, harus dibuka kembali catatan penting pelayaran Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming. Dia mengarungi lautan mengunjungi beberapa negara di Asia Tenggara, Samudra Hindia, Laut Merah, Afrika Timur. Cheng Ho yang selama 28 tahun (1405-1433) memimpin sekitar 27 ribu kapal mengarungi lautan mengunjungi tempat tersebut termasuk Nusantara dalam tujuh kali pelayaran. Cheng Ho yang dikenal sebagai Kasim San Bao adalah seorang Muslim yang taat dari bangsa Hui di Provinsi Yunnan, yang tidak terlepas dari latar belakang kekuasaan Dinasti Ming dan perkembangan agama Islam ketika itu.

Pelayaran Cheng Ho ke Samudra Barat (Hindia) sebagai utusan Dinasti Ming tidak membawa misi agama tetapi untuk tujuan politik, antara lain; menjalin kerukunan dan persahabatan dengan negara-negara asing, karena Kaisar Ming beranggapan bahwa Rakyat di seluruh dunia adalah sekeluarga.
Mengunjungi masyarakat Cina yang merantau karena kemiskinan di negaranya dan berpesan kepada mereka agar menjadi penduduk yang baik di negara tempat menetap, serta mendorong perniagaan antara Cina dengan negara-negara asing.

Misi Cheng Ho juga mencari jejak Kaisar Jian Wen (Zhu Yunwen) yang berkuasa sebelumnya karena konon kaisar tersebut melarikan diri keluar negeri setelah digulingkan. Karena Cheng Ho merupakan pemimpin beragama Islam dan sangat menghargai agama lain, ia diutus mengunjungi daerah-daerah yang telah memeluk agama Islam dan nagara/kerajaan yang menganut agama Budha seperti Thailand dan Siam. Sehingga Cheng Ho dalam pelayarannya mendapat sambutan hangat dari pemerintah kerajaan/negara yang dikunjunginya.

Tionghoa Indonesia di Sulawesi Selatan

Kebanyakan masyarakat Tionghoa Muslim di Indonesia adalah muallaf. Sebelum memeluk agama Islam mereka menganut agama lain seperti Konghucu, Budha, ataupun Kristen. Mereka memeluk Islam setelah melalui proses pembelajaran terhadap sendi-sendi agama Islam sehingga mereka memutuskan berganti agama menjadi seorang Muslim. Sebagian menjadi Islam melalui pintu perkawinan.

Muslim Tionghoa yang peranakan biasanya memeluk agama Islam sejak nenek moyang mereka yang lebih dulu melakukan perkawinan dengan orang setempat yang beragama Islam sehingga anak cucu mereka tetap memeluk agama leluhurnya secara turun temurun dan menjalankan ajaran Islam secara konsisten.
Masyarakat Muslim Tionghoa di Makassar diperkirakan berjumlah 1.000 orang (yang terdata oleh PITI Sulsel) namun masih terdapat sejumlah warga Tionghoa Muslim yang tidak tercatat dalam PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia).Mereka bersesuai dengan masyarakat Muslim lainnya dan menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam. Mereka melakukan pengajian untuk menggali ajaran Islam dan memurnikan keyakinannya dalam berbagai kesempatan.

Beberapa di antara mereka sangat memahami ajaran Islam dibanding orang setempat yang sudah lama memeluk Islam tetapi tidak mempelajari lebih dalam. Merekapun banyak memakai nama-nama Islam yang disesuaikan dengan nama-nama Tionghoa yang memiliki nama keluarga (she). Misalnya dari marga Go menjadi Gosali, Yu menjadi Yunu.


Oleh
Shaifuddin Bahrum
Peneliti Budaya Tionghoa, Mahasiswa Pascasarjana Unhas
Selanjutnya....

Imlek di Mata Muslim Tionghoa

Liputan6.com, Semarang: Tahun baru Cina atau Imlek dirayakan secara meriah oleh warga Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia. Bagaimana dengan warga Tionghoa yang telah memeluk Islam? Seorang warga Semarang, Jawa Tengah, Tjio Tjik Hok, menyimpan jawabannya.

"Imlek merupakan warisan leluhur yang harus dihormati. Tapi, saya tidak merayakannya di rumah," tegas warga Jalan Abimayu V, Semarang, ini. Pria kelahiran 12 Januari 1952 ini memeluk agama Islam sejak usia 20 tahun. Meski telah berganti nama menjadi Budi Sulaiman, ia tidak keberatan dipanggil dengan nama Tionghoanya. "Saya tidak pernah menyesal terlahir sebagai etnis Tionghoa atau Cina. Saya justru merasa bangga karena bisa mengetahui Islam," kata suami Eni ini. "Padahal, awalnya tidak pernah mengenal huruf Arab!"

Pada 1982, mualaf ini menunaikan Rukun Islam kelima, yakni menunaikan ibadah haji. Sejak itu, gelar haji pun disematkan di depan namanya, Tjio Tjik Hok. Belakangan, karena sering diundang menjadi penceramah atau mubaligh, ia pun disebut juga sebagai kyai. "Hidayah Islam saya rasakan ketika menderita pendarahan nadi. Penyakit itu tidak kunjung sembuh meski telah diobati dokter," cerita Tjio Tjik Hok. "Melalui pertolongan seorang kyai di Jakarta, saya sembuh. Akhirnya, saya memeluk Islam."

Menurut Tjio Tjik Hok, tahun baru Cina atau Imlek lebih dekat dengan agama Khonghochu. Meski demikian, ia tetap menghormati warisan leluhurnya itu dan menjalin silaturahim dengan keluarga lain. Padahal, mereka masih menganut kepercayaan Khonghucu. "Silaturahmi antarkeluarga juga merupakan bingkai warisan leluhur yang harus dijaga," tegas ayah dari empat anak ini.

Di usia senjanya, Tjio Tjik Hok berharap pilihan agama tidak menjadi sumber perpecahan. Tingkah laku yang baik dan contoh tindakan terpuji, katanya, akan menjadikan orang tertarik dengan pilihannya itu. "Karena tidak ada paksaan dalam beragama," tegas Tjio Tjik Hok.(ARL/SHA)
Selanjutnya....

Tjio Tjik Hok Bangga Menjadi Tionghoa Muslim

Liputan6.com, Semarang: Nama aslinya Tjio Tjik Hok. Namun sejak memeluk Islam pada usia 20 tahun, ia berganti nama menjadi Budi Soleman. Bersama istrinya, lelaki ini tinggal di Jalan Abimanyu V nomor 57, Semarang, Jawa Tengah.

Ada yang spesial dari lelaki kelahiran 12 Januari 1952 ini. Ia adalah mualaf beretnis Tionghoa yang bangga menjadi warga negara Indonesia pemeluk Islam. Kecintaannya akan Islam dibuktikan dengan perjalanan haji pada 1982. Dan kini, ia sering diundang untuk berceramah di berbagai kegiatan keagamaan.

Ketika tampil sebagai pendakwah, Hok biasanya mengenakan pakaian khas Negeri Tiongkok. Ini pun menjadi kebanggaannya. Sebab ia tidak pernah menyesal dilahirkan sebagai etnis Tionghoa. Toh, Hok memeluk Islam karena pernah ditolong oleh seorang kiai di Jakarta. Ketika itu dia diminta melafalkan doa dalam bahasa Arab.

Lelaki yang membuka usaha percetakan di rumahnya itu sudah menginjak usia senja. Empat orang anaknya sudah hidup mandiri di berbagai daerah. Satu hal yang dia tanamkan, pilihan agama hendaknya tidak menjadi perpecahan. Tingkah laku yang baik serta contoh tindakan terpuji yang membuat seseorang bisa tertarik pada pilihan keyakinannya.

Hok tampil bak Laksamana Cheng Ho, seorang Tionghoa muslim yang mendarat di Jawa, 600 tahun silam. ia bangga menjadi Tionghoa muslim.(OMI/SHA)
Selanjutnya....

Jejak Muslim Tionghoa di Palembang

Jakarta - Setelah kedatangan Panglima Cheng Ho sebanyak tiga kali ke Palembang (1413-1415), kaum Muslim dari Tiongkok berbondong-bondong datang ke Palembang. Mereka datang dengan menggunakan perahu jukung yang berbulan-bulan mengarungi lautan, seperti Laut Cina Selatan yang ombaknya terkenal ganas.

Kaum Muslim Tionghoa yang datang ke Palembang sebagian besar bermazhab Hanafih, sebab di masa Dinasty Ming, sebagian besar masyarakat Muslim di Tiongkok menganut mazhab tersebut. Mereka yang datang ini selain sebagai ulama, pedagang, juga pengrajin, tabib, ahli masak dan ahli pertukangan. Lantaran Palembang sejak masa kerajaan Sriwijaya sudah dipengaruhi tradisi dan budaya masyarakat Tionghoa, membuat kaum muslim Tionghoa ini gampang membaur. Artinya tidak ada perbedaan yang mencolok mengenai tradisi dan budaya antara masyarakat Palembang dengan para pendatang Muslim Tionghoa.

Banyak di antara mereka menikah dengan masyarakat Melayu yang masih menganut agama Budha atau Hindu, sehingga melalui tali perkawinan mereka turut menyebarkan ajaran Islam. Contohnya seperti yang dilakukan seorang gadis Muslim Tionghoa yang sering dipanggil Putri China(putri kian), yang menetap di Kuto Gawang, Palembang, menikah dengan Prabu Kertabumi Brawijaya V—seorang pangeran yang menjadi raja terakhir kerajaan Majapahit—yang kemudian melahirkan Raden Hasan atau dikenal sebagai Raden Fatah, selaku pendiri Kesultanan Demak.

Bahkan Putri China ini pun menikah dengan Ario Damar—putra Prabu Kertabumi Brawijaya V—yang menjadi pemimpin Palembang, yang melahirkan Raden Husin atau yang dikenal sebagai Raden Kusen. Ario Damar sendiri masuk Islam, dan mengubah namanya menjadi Ario Abdillah atau biasa disebut Ario Dillah.

"Pembauran Muslim Tionghoa dengan Melayu dan Jawa ini yang kemudian melahirkan etnis Palembang yang dikenal saat ini," kata Abdul Azim Amin, sejarawan dari IAIN Raden Fatah Palembang. Abdul Azim Amin yang biasa dipanggil 'Cek Ajim' ini merupakan keturunan Chu Yu-chien atau Zhu Yujian, pendiri kampung muslim Tionghoa yakni Saudagar Kocing di 3-4 Ulu Palembang.

Menurut Cek Ajim, tradisi Muslim Tionghoa yang bermazhab Hanafih sampai saat ini masih memengaruhi tradisi muslim di Nusantara, khususnya di Palembang, seperti peringatan orang meninggal dunia; tiga hari, tujuh hari, atau 40 hari. Tradisi ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa yang sangat menghormati para leluhurnya.

Pengaruh lainnya yakni seni kaligrafi yang menghiasi rumah maupun peralatan rumah tangga, pakaian, rumah, makanan, tabib atau pengobatan, masjid, termasuk pula tempat pemakaman. Dapat dikatakan hampir semua arsitektur masjid tua di Palembang sangat dipengaruhi oleh arsitektur Tiongkok. Seperti dilihat dari gubahnya, kaligrafi, maupun tiang, pintu dan jendelanya. Masjid-masjid tua itu seperti Masjid Agung, Masjid Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Ki Marogan.

"Jadi kalau ditanya yang mana Muslim Tionghoa itu, ya dapat dikatakan wong Palembang asli itulah Muslim Tionghoa," kata Cek Ajim.

"Wong Palembang ini bukan berarti yang menetap di Palembang, juga yang menetap di daerah pedalaman," lanjutnya.

Pembauran muslim Tionghoa dengan suku Melayu maupun etnis lain seperti Arab, India, dan Persia, ini yang membuat sejumlah orang Palembang berparas mirip orang Tionghoa atau wajahnya memiliki khas tertentu yakni memiliki pipi gembul. Memang tidak dapat dinyatakan secara pasti Muslim di Palembang hanya dipengaruhi oleh kaum Muslim Tionghoa.

Sebab di masa Kesultanan Palembang Darussalam, berdatangan juga para ulama dari Hadramaut, Yaman. Termasuk sebelumnya banyak pedagang dari Gujarat, Persia, yang muslim, telah mengunjungi Palembang. Justru pada saat ini sebagian besar kaum muslim di Palembang bermazhab Syafei yang banyak disebarkan para ulama dari Hadramaut serta keturunan Raden Fatah di Jawa, terutama dari Pajang. Raden Fatah sendiri sama seperti ibundanya, Putri China, menganut mazhab Hanafih.

Kedatangan Muslim Tionghoa

Pada kedatangan Cheng Ho yang kedua ke Palembang pada 1414, dia membawa 63 kapal dengan 28.560 penumpang. Misi kali ini dia memburu dan membawa Sekandar, seorang tawanan dari Sumatra. Sekandar kemudian dihukum mati di Tiongkok.

Mengacu kronologi Barnes, di abad ke-13 setidaknya 83.980 orang China singgah ke Palembang. Sebagian besar mereka itu tentunya kaum muslim, sebab Tiongkok tengah dikuasai Dinasty Ming yang merupakan simbol kekuasaan Muslim di Tiongkok.

Cheng Ho atau Zheng He, nama aslinya Ma Huan. Nama depan 'Ma' dalam khasanah sinologi, melambangkan panggilan buat kaum muslim yang bernama Muhammad. Proses sintese antara kaum Muslim dari Arab dan Persia, dengan orang Cina, khususnya suku Han, berlangsung sejak abad ke-12. Jadi, diperkirakan Cheng Ho, seorang Muslim dari suku Han.

Lalu, kenapa dipanggil Zeng He atau Cheng Ho? Nama depan 'Zheng' serumpun dengan 'Cheng, Chung, atau Trinh (orang vietnam)' berasal dari gelar adipati dalam kerajaan Zheng di wilayah timur Hua, provinsi Shanxi, yang dihapuskan oleh Dinasti Han (206 SM-220). Sejak itu, orang-orang di sana gemar memakai nama depan Zheng. Cheng Ho atau Zheng He, karena itu, merupakan gelar yang diberikan kaisar Ming kepada Ma Huan.

"Diperkirakan, kedatangan leluhur saya dari Kochin ke Palembang, mengikuti jejak perjalanan Cheng Ho," kata Cek Ajim.

Leluhur Cek Ajim ini kemudian menetap di 3-4 Ulu, kemudian disebut sebagai kampung "Saudagar Kucing", semacam penanda seorang saudagar yang berasal dari kampung Kucing (Kochin). Saudagar Kucing yang dimaksud itu bernama asli Chu Yu-chien. Dia adalah cucu Chu Yü-chien, seorang pangeran dari Tiongkok.

Diceritakan Cek Ajim, kakeknya Chu Yu-chien atau Zhu Yujian mangkat sebagai pejabat ketika penguasa Manchu dari Manchuria menangkap Kaisar Ming di ibukota Peking, dan mendirikan dinasti Qing (1644-1911). Chu Yu-chien adalah pewaris terakhir tahta Dinasti Ming.

Sebagai seorang pangeran Ming, Chu merupakan keturunan langsung dari kaisar dinasti Ming yang pertama, Hung-Wu (1368-1398) yang memerintah sejak kejatuhan ibukota Peking. Ming suku bangsa asli di Tiongkok terakhir yang memerintah kedinastian selama hampir tiga abad antara kejatuhan dinasti Yuan-Mongol (1271-1368) dan kenaikan Qing-Manchu. Dinasti Ming menyatukan kembali apa yang kini disebut Negeri Cina setelah hampir 400 tahun diduduki bangsa asing: Mongol dari stepa Asia dan Manchu dari pedalaman Manchuria.

Muslim Tionghoa Generasi Baru

Berbeda dengan kaum muslim Tionghoa atau pendatang terdahulu yang banyak membaur dengan penduduk setempat, maka para imigran Tionghoa yang datang di masa kolonial Belanda, di mana Tiongkok dikuasai Dinasty Qing yang memusuhi kaum muslim, dimasukan sebagai kelas kedua bersama para pendatang lainnya. Penduduk asli yang mayoritas Islam diletakan sebagai kelas ketiga. Sementara kaum muslim Tionghoa yang masih asli dipulang penjajah Belanda ke Tiongkok yang biasa disebut 'Huakiao'.

Akibat politik 'memecah-belah' itu menyebabkan etnis Tionghoa yang non-Muslim, tidak mau memilih agama Islam sebagai keyakinan, meskipun Islam pernah menyatukan seluruh daratan Tiongkok di masa dinasty Ming. Jika tidak memeluk Katolik, Protestan, Budha, mereka memeluk agama para leluhurnya yakni Konghocu. Ada dua alasannya, pertama mereka takut dikucilkan atau dikembalikan ke Tiongkok oleh kolonial Belanda, dan yang kedua dalam perkembangan selanjutnya mereka setuju dengan penempatan sebagai kelas kedua yang tentu saja berbeda dengan penduduk asli.

Meskipun demikian masih banyak kaum Tionghoa yang secara diam-diam masih memegang Islam sebagai agama atau kepercayaannya. Mereka ini kemudian turut terlibat dalam berbagai kegiatan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Setelah peristiwa 1965—yang mana banyak etnis Tionghoa dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berbuntut pemulangan ribuan etnis Tionghoa ke Tiongkok—etnis Tionghoa di Palembang mulai banyak memeluk agama Islam. Kaum Muslim Tionghoa ini kemudian banyak bergabung dengan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), yang saat ini jumlah anggotanya di Indonesia mencapai 85 ribu lebih.

Berbeda dengan Muslim Tionghoa sebelumnya, Muslim Tionghoa di masa kini banyak mengikuti mazhab Syafei, yang merupakan mazhab mayoritas kaum muslim di Indonesia, yang mulai berkembang di masa Kesultanan Demak yang dipindahkan ke Pajang. PITI didirikan Abdul Karim Oei, seorang Muslim Tionghoa kelahiran Padang, Sumatera Barat, pada 1905.

Karim Oei menjadi Muslim pada 1929 setelah hijrah ke Bengkulu. Di sana, dia diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah. Saat itu, dia akrab dengan Bung Karno yang sedang dalam pembuangan. Kemudian ia menjadi salah satu pimpinan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan setelah itu mendirikan PITI di Jakarta. Jadi PITI tak lepas dari dukungan Muhammadiyah.

Setelah peristiwa politik pada 1965, simbol-simbol yang menghambat pembauran dilarang pemerintah. Pada 15 Desember 1972, PITI mengubah kepanjangannya menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia. Dalam melakukan pembinaan agama, PITI dibantu Yayasan Haji Karim Oei, yang mengurus masjid, perpustakaan, dan beberapa kegiatan keagamaan. Pengurus PITI saat menyebar di 16 kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, serta Pontianak. Sementara di Palembang, saat ini kaum muslim Tionghoa yang bergabung ke PITI sekitar 4.000 orang.

Masjid Cheng Ho

Perkembangan kaum Muslim Tionghoa di Indonesia, termasuk di Palembang, pada masa kekinian tidak lepas dari keberadaan masjid Cheng Ho atau Lau Tze. Masjid pertama yang didirikan kaum muslim Tionghoa yakni Masjid Lau Tze yang didirikan Abdul Karim Oei di Jakarta pada 1991.

Selanjutnya masjid Cheng Ho didirikan di Surabaya, Semarang, Palembang, serta masjid Ronghe di Bandung. Masjid Cheng Ho di Palembang seperti halnya di Surabaya, mengadopsi arsitektur Masjid Niu Jie di Beijing, Tiongkok. Berbeda dengan di Jakarta, Semarang maupun Surabaya, Masjid Cheng Ho yang mulai dibangun tahun 2003, didirikan bukan di kawasan perkampungan Tionghoa.

Masjid Cheng Ho berdiri di Jakabaring, di tengah-tengah pemukiman penduduk yang beragam, sehingga masjid ini bukan hanya didatangi kaum muslim Tionghoa juga kaum Muslim dari etnis lainnya. Setiap pekan, di masjid ini dapat dipastikan ada etnis Tionghoa yang berikrar memeluk agama Islam.

(Taufik Wijaya - detikRamadan)
Selanjutnya....

Pemkab Rembang Segera Terbitkan Buku Sejarah Maritim

REMBANG (wartamerdeka.com) - Pemerintah Kabupaten Rembang berencana menerbitkan buku "Sejarah Maritim Kabupaten Rembang" untuk menambah pengetahuan siswa SD, SMP dan SMA. Dengan adanya koleksi buku itu diharapkan membuka cakrawala pikir dan menambah wawasan para siswa, agar lebih menghargai kebesaran sejarah dan budaya Kabupaten Rembang pada era keemasan semasa jaya di masa lalu.
"Penerbitan buku sejarah maritim bertujuan agar generasi sekarang ikut merasa mewarisi nama besar Kabupaten Rembang, saat berjaya dahulu," ucap Bupati Rembang H. Moch Salim, Kamis (6/1)

H Moch Salim sebutkan, adanya penerbitan buku sejarah maritim perlu memasukkan konsep sea fornt city yang dicanangkan relaisasinya mulai tahun 2011. "Sea front city adalah program pengelolaan pesisir pantai, lautan dan perikanan agar bisa menjadi andalan Kabupaten Rembang sebagai kota pesisir," paparnya.

Dasar dari program sea front city sendiri ungkap H Moch Salim karena disadari kawasan pertanian yang ada di Kabupaten Rembang kalah dengan kabupaten tetangga, seperti Pati, Blora dan Tuban. "Oleh karena itu potensi laut kita harus dioptimalkan. Setidaknya menjai kota yang unggul dengan pelabuhan perikanan nasional maupun internasional," tuturnya.

Buku sejarah maritim dan sea front city yang segera diterbitkan diharapkanmemberikan sumbangsih bagi dunia pendidikan di Kabupaten Rembang. "Buku Sejarah Maritim Kabupaten Rembang, antara lain bberisi temuan perahu kuno di desa Punjulharjo, pendaratan Cheng Ho di Lasem, Sejarah Dampo Awang, Bie Nang Oen, Sunan Bonang termasuk tokoh pejuang emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini," pungkasnya.(hasan)
Selanjutnya....

Sejarah Perkembangan Islam Tionghoa di Jawa

Cheng Ho: Antara Sejarah dan Legenda

 Proses sejarah perkembangan Islam di Jawa seringkali dikaitkan dengan sosok laksamana besar dari Dinasti Ming yaitu Cheng Ho. Selain seorang pelaut dan negosiator ulung, Cheng Ho juga seorang muslim yang saleh dan giat melakukan syiar. Amen Budiman dalam bukunya “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia” menuliskan bahwa pada awal abad 15, armada Cheng Ho pernah singgah di Semarang, tepatnya di sebuah tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Gedong Batu. Di sana Cheng Ho bersama pembantu utamanya, Wangji Hong, mengajar agama Islam kepada masyarakat sekitar dan mendirikan sebuah masjid dengan gaya arsitektur mirip klenteng tionghoa.
Namun teori sejarah bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang tampaknya sangat lemah. karena dalam buku “Riwayat Semarang” karya Liem Thian Joe tahun 1931, tidak pernah dinyatakan Cheng Ho pernah singgah di Semarang. Armada yang singgah di Semarang bukan dipimpin oleh Cheng Ho tetapi oleh Sam Poo Kong. Oleh sebab itu di Semarang ada Kelenteng dan Masjid Sam Poo Kong. Tampaknya kemudian tradisi yang berkembang di masyarakat mencampuradukkan sosok Sam Poo Kong dengan Cheng Ho, padahal sebenarnya dua nama ini memang adalah tokoh yang berbeda.

Dalam Harian KOMPAS edisi 7 Apil 2008 “Antara Fakta Sejarah dan Legenda Sang Laksamana”, dinyatakan bahwa tidak ada bukti kuat bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang pada tahun 1405, karena Semarang pada awal abad ke-15 adalah daerah tak bertuan, karena Kerajaan Demak belum tampil dan Majapahit masih menjadi bermahadiraja. Sebaliknya dalam tradisi Jawa, dikenal tokoh Dampo Awang selalu muncul di sejumlah tempat di pesisir utara pulau Jawa. Di Jepara, Rembang, dan Tuban dipercayai terdapat jangkar milik Dampo Awang. Selain itu satu-satunya kota di Jawa yang disebut dalam sumber China dan catatan Melayu adalah Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah, sekitar 78 km dari Semarang. Pada masa itu (abad ke-15) Jepara telah menjadi pelabuhan internasional karena di sebelah utara Jepara terdapat pula situs peninggalan ekpedisi Alfonso Darlbuquerque berkebangsaan Portugis, diperkirakan pada abad ke-15.
Hipotesa yang dapat dibuat adalah bahwa kedatangan armada China di Jawa sangat erat kaitannya dengan penyebaran Islam awal di Jawa. Namun kedatangan armada China ini tidak terjadi dalam satu waktu, tetapi terjadi beberapa kali dan pada titik-titk pelabuhan yang berbeda. Dalam pesinggahan armada China di Jawa tersebut sangat mungkin didahului dengan persinggahan di pelabuhan-pelabuhan sebelumnya, termasuk Kerajaan Champa yang mayoritas menganut agama Islam aliran Hanafi. Oleh karena itu distribusi ulama-ulama Champa sangat mungkin terjadi dalam proses tersebut.
Sejarah Wali Songo

Muldjana memaparkan dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” bahwa Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Cina. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda, dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jim bun dalam salah satu dialek Cina berarti “orang kuat”. Maka sang Residen itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang ada di sana, sebagian sudah berusia 400 tahun-sebanyak tiga pedati. Arsip Poortman ini dikutip Parlindungan dalam bukunya “Tuanku Rao”.
Bila mengacu pada teori Prof Muldjana, ada dugaan kuat bahwa penyebaran awal Islam dilakukan oleh para ulama dari China, khususnya Champa, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan “Wali Songo”. Perdagangan dan hubungan diplomatik Majapahit dengan China (Tiongkok) sudah dibangun kembali pada masa Ratu Suhita pada awal abad 15 Masehi. Pelabuhan Tuban menjadi sentra ekspor impor yang digawangi oleh utusan negeri Champa, yaitu Gan Eng Cu. Selain piawai dalam perdagangan, Gan Eng Cu juga seorang Islam Hanafi yang bersemangat menyebarkan syiar damai dan sangat menghormati kekuasaan Majapahit. Berdasarkan kronik Tionghoa di Klenteng Sam Poo Kong, berkat jasa Gan Eng Cu dalam bidang ekonomi, Ratu Suhita memberikan gelar Arya. Muldjana menduga bahwa Gan Eng Cu ini adalah Tumenggung Arya Wilwatikta, adipati Tuban, yang tidak lain adalah ayah dari Raden Said atau yang nama aslinya adalah Gan Si Ciang. Beliau nantinya bergelar Sunan Kalijaga, salah satu wali (ulama) yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.
Muldjana banyak menyitir buku karangan Parlindungan dan menyimpulkan, Bong Swi Hoo-yang datang di Jawa tahun 1445 Ms tidak lain adalah Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan Cina di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh.
Akhirnya Muldjana menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Muldjana adalah Toh A bo, putra Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu Sunan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su.
Namun teori Muldjana perihal Sunan Kalijaga disangkal oleh budayawan muda Damar Shashangka, dengan menyatakan bahwa Prof. Muldjana mencoba merangkai data dari kronik Tionghoa, serat kanda, dan Babad Tanah Jawi, tapi melupakan babad Tuban. Dalam babad Tuban dikisahkan bahwa penguasa Tuban sekitar tahun 1400 awal adalah Adipati Arya Adikara. Adipati Arya Adikara memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Raden Ayu Teja dan yang bungsu bernama Dewi Retna Dumilah. Putri sulung ini, dinikahkan dengan seorang ulama muslim bernama Syeh Abdurrahman yang tidak lain adalah Gan Eng Cu. Sedangkan putri bungsu dinikahi oleh bangsawan Majapahit bernama Wilwatikta, yaitu ayah dari Raden Said. Jadi Raden Said adalah keponakan Gan Eng Cu, dan tidak memiliki darah Tionghoa sama sekali.
Dr. Said Aqil, sesepuh NU menyatakan bahwa dalam silsilah pengembangan Islam di Asia dan Indonesia ada pihak-pihak yang perlu diperhatikan yakni Achmad bin Isa, bin Ali Uraidi bin Ja’far Sadiq bin Muhammad Bakir bin Ali bin Abidin, bin Husain bin Ali bin Fatimah binti Rasullullah. Achmad bin Isa pindah ke negeri Campa dan kawin dengan wanita Tionghoa dan mempunyai anak Abdul Qodir (Tan Kim Han). Dia ini gugur melawan Mojopahit dan dimakamkan di Desa Tuloyo, Mojokerto. Tan Kim Han, menurut Said Aqil, menurunkan anak bernama Raden Rachmad Sunan Ampel, lalu menurunkan KH. Hasim Asy’ari, dan selanjutnya menurunkan KH Wahid Hasyim dan punya anak bernama KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Kata Walisanga yang selama ini diartikan sembilan (sanga) wali, ternyata masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Sebagian sejarahwan berpendapat bahwa kata ’sanga’ berasal dari kata ‘tsana’ dari bahasa Arab, yang berarti mulia. Pendapat lainnya menyatakan kata ’sanga’ berasal dari kata ’sana’ dalam bahasa Jawa yang berarti tempat. Sedangkan kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisanga, dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kependekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yang berarti guru. Disebut guru, karena para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan, sebab para penganut aliran Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.
Keruntuhan Majapahit dan Kebangkitan Demak

Pada masa pemerintahan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) tahun 1474-1478, Majapahit mulai mengalami banyak kemunduran. Selain karena pengaruh bangkitnya Blambangan pasca perang paregreg tahun 1404, juga adanya kemerosotan wibawa raja dan bangsawan kerajaan kala itu.
Dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dikisahkan Jim Bun alias Raden Patah, anak Kertabhumi dari selirnya yaitu seorang putri Cina yang menganut agama Islam, menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Raja Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit dengan ditemani oleh Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tujuannya adalah untuk meminta pengakuan bahwa Jim Bun adalah anak raja dan layak mendapat bagian kekuasaan. Raja Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda mengisahkan bahwa Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Tahun wafatnya Sunan Ampel masih spekulatif, namun menurut Serat kanda dikisahkan bahwa pada tahun 1479 yang meresmikan Masjid Demak dan menobatkan Raden Patah sebagai sultan, bukan Sunan Ampel, melainkan Sunan Giri, sehingga diperkirakan Sunan Ampel sudah wafat pada tahun sebelumnya. Kepemimpinan Wali Songo oleh Sunan Giri berbeda dengan Sunan Ampel. Sunan Giri memiliki ambisi politis untuk menundukkan Majapahit dan membesarkan Demak.
Menurut Prof. Muldjana, kronik Cina memberitakan adanya penyerangan Jim Bun melawan Kung-ta-bu-mi (Kertabhumi / Brawijaya) pada tahun 1478. Perang terjadi setelah wafatnya Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jim Bun menggempur ibu kota Majapahit. Raja Brawijaya ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Kitab Pararaton (pada bagian akhir) memberi keterangan berbeda, yaitu Raja Kertabhumi (Brawijaya) wafat tahun 1400 Saka (1478 Ms) di dalam keraton. Artinya pada saat penyerangan Demak ke Majapahit, Raja Brawijaya terbunuh di dalam keraton.
Sejak penyerangan Demak tahun 1478, Majapahit berhasil ditundukkan di bawah pemerintahan Demak. Pada saat ini Kerajaan Majapahit tidak serta merta musnah, namun masih ada tetapi menjadi negara bawahan Demak. Kronik Cina mencatat bahwa Jim Bun menunjuk seorang Cina bernama Nyoo Lay Wa sebagai raja boneka Majapahit. Namun pada tahun 1485 terjadi pemberontakan kaum pribumi yang menyebabkan Nyoo Lay Wa mati. Lalu Jim Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga masih menantu Kung-ta-bu-mi.
Hal ini bertalian dengan Prasasti Petak yang mencatat adanya penyerangan Sang Munggwing Jinggan dan Girindrawardhana ke Majapahit pada tahun 1486. Pada persitiwa itu Sang Munggwing Jinggan gugur. Atas data ini, maka dapat diasumsikan bahwa tokoh Pa-bu-ta-la yang tertulis pada kronik Cina tidak lain adalah Girindrawardhana. Girindrawardhana juga menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 sebagai maklumat bahwa ia adalah penguasa baru Majapahit (Wilwatikta, Jenggala dan Kediri).
Pemberontakan Ki Ageng Kutu dan Sejarah Reog Ponorogo

Adalah seorang demang atau kepala Desa Kutu (daerah Kecamatan Jetis, selatan Kota Ponorogo) yang bernama Ki Ageng Kutu atau nama lengkapnya Ki Ageng Ketut Suryongalam. Ia mengendus adanya gelagat Jim Bun untuk menggulingkan kekuasaan Majapahit. Ia merasa tidak puas melihat ketidaktegasan raja menolak permintaan Jim Bun. Ia juga tidak puas terhadap sikap raja yang terlalu lembek sehingga banyak diatur oleh permaisuri kerajaan dalam mengambil keputusan.
Ki Ageng Kutu melakukan boikot pembayaran pajak, upeti, dan semua persembahan kepada raja. Batara Katong, seorang bangsawan Demak berupaya menundukkan kademangan Kutu. Batoro Katong adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dengan Putri Campa yang beragama Islam. Jadi Batara Katong adalah adik dari Jim Bun alias Raden Patah.
Cerita perang Kutu-Katong, terlukis dalam Babad Ponorogo berlangsung sangat seru dan heroik. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bala tentara yang banyak dan kuat. Namun akhirnya pasukan Ki Ageng Kutu dapat dipukul mundur ke daerah perbukitan selatan Ponorogo. Sedangkan Batara Katong diangkat oleh Demak sebagai Bupati Ponorogo.
Salah satu bentuk protes Ki Ageng Kutu terasopsi dalam bentuk simbolis tari Reog yang berkembang di masyarakat Ponorogo hingga sekarang. Dadak-merak berunsur utama kepala harimau yang ditunggangi seekor merak dengan bulu ekor yang mengembang. Prabu Bhre Kertabhumi dilambangkan sebagai harimau dan isterinya yaitu putri Cina dilambangkan merak. Pembuatan barongan itu sendiri bertujuan untuk menyindir Raja Majapahit yang dianggap tidak dapat menjalankan tugas kerajaan secara adil dan tertib karena dipengaruhi oleh permaisurinya.
Unsur Budaya Cina (Tinghoa) dalam Bangunan Masjid Islam Abad 15 – 17 di Jawa
Cendekiawan NU, Sumanto Al-Qurtuby menyatakan bahwa ada persepsi yang kurang tepat di kalangan publik Muslim dewasa ini yang meyakini bahwa proses islamisasi di Jawa itu datang langsung dari Arab atau minimal Timur Tengah, bukan dari Cina. Kalaupun sebagian mereka ada yang menganggap adanya pengaruh Gujarat-India, namun Gujarat yang sudah ‘diarabkan’. Padahal bila diteliti, masjid kuno di Jawa abad 15 dan 16 mempunyai bentuk yang sangat spesifik. Arsitektur abad ke 15 dan 16 merupakan arsitektur transisi dari arsitektur Jawa-Hindu/Budha ke arsitektur Jawa-Islam. Masa transisi tersebut melahirkan bentuk-bentuk bangunan Masjid yang sangat spesifik.
Qurtuby menyebut abad 15-17 sebagai jaman Sino-Javanese Muslim Culture dengan bukti di lapangan seperti: Konstruksi Masjid Demak (terutama soko tatal penyangga Masjid), ukiran batu padas di Masjid Mantingan, hiasan piring dan elemen tertentu pada Masjid Menara di Kudus, ukiran kayu di daerah Demak, Kudus dan Jepara, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, elemen-elemen yang terdapat di keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, dsb.nya, semuanya ini menunjukkan adanya pengaruh pertukangan Cina yang kuat sekali.
Handinoto dan Samuel Hartono dalam jurnalnya “Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16”, memaparkan adanya bukti-bukti pengaruh gaya pertukangan Cina pada 3 masjid kuno di Jawa antara lain: 
1. Masjid Demak
 Masjid Demak merupakan salah satu Masjid yang terpentng dan tertua di Jawa (1479). Masjid ini telah mengalami renovasi berulang-ulang sehingga menjadi wujudnya seperti yang sekarang ini. Masjid Demak didirikan pada masa kerajaan Demak yang diperintah oleh Raden Patah pada abad ke 15. Hampir semua sumber historiografi lokal menyebutkan bahwa Raden Patah atau Jim bun adalah seorang Cina Muslim.
Yang menjadi kontroversial sampai sekarang adalah fenomena sokotatal, yang merupakan konstruksi utama (sokoguru) pada Masjid Demak tersebut. Menurut catatan Melayu yang dikutip Graaf dikatakan bahwa pembangunan Masjid Demak pada jaman Raden Patah tidak kunjung selesai disebabkan karena adanya kesulitan untuk mendirikan atap dari konstruksi kayu dengan luas 31×31 M, sebab sebelumnya pertukangan setempat tidak pernah membangun bangunan dengan sistim konstruksi kayu dengan bentang sebesar yang ada di masjid tersebut. Selanjutnya Bong Kin San, penguasa di Semarang yang juga ipar Raden Patah, menyediakan diri untuk menyelesaikan sistim konstuksi kayu di Masjid Demak yang tak kunjung selesai tersebut. Kin San membawa ahli-ahli pembuat kapal Cina dari pelabuhan Semarang, untuk membangun Masjid Demak tersebut. Itulah sebabnya sokotatal tersebut konsruksinya sangat mirip dengan teknik penyambungan pertukangan kayu pada tiang-tiang kapal Jung Cina.
Ada pula kesamaan bahan bangunan yang digunakan pada kelenteng Talang (1428) di Cirebon, dengan bahan bangunan yang digunakan di Masjid Demak. Bahan-bahan tersebut antara lain tegel bata kuno ukuran 40×40 cm, bata merah kuno ukuran 28×14 cm, serta banyak paku kuno segi empat. Selain itu juga cara penyelesaian hubungan antara kolom-kolom struktur utama masjid dengan tanah dipakai batu alam sebagai perantara. Batu tersebut disebut sebagai ‘umpak’ (dalam ilmu konstruksi perletakan seperti itu disebut sebagai perletakan sendi). Ini mengingatkan kita tentang batu umpak yang ada di kelenteng-kelenteng sepanjang pantai Utara Jawa serta Masjid-masjid Cina di Kanton. Bentuk mustoko (hiasan yang ada di puncak atap masjid), berbentuk bola dunia yang dikelilingi oleh 4 ekor ular jelas terinspirasi oleh tradisi Cina.
Hal lain misalnya tepatnya di “mihrab”, pada temboknya terdapat gambar kura-kura. Menurut tradisi Cina jaman itu, lambang kura-kura merupakan simbol kemenangan dinasti Ming (1368-1644), saat berhasil mendirikan dinastinya. Gambar kura-kura pada mihrab Masjid Demak menunjuk pada candra sengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” (Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1). Kepala kura-kura melambangkan angka 1. Empat kaki kura-kura melambangkan angka 4. Tubuh kura-kura melambangkan angka 0. dan ekor kura-kura melambangkan angka 0. Jadi artinya tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Mihrab masjid dapat pula ditafsir sebagai candra sengkala “Sariro (1) Sunyi (0) Kiblating (4) Gusti (1)” yang menunjuk pada tahun saka 1401 atau 1479 Masehi. Sebagaimana diketahui bahwa mihrab adalah bangunan pertama dan utama masjid, sehingga dapat disimpulkan bahwa Masjid Demak dibangun pada sekitar tahun saka 1400 – 1401 atau 1478 – 1479 Ms. Dalam tradisi Jawa, candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” merupakan perlambang penanda waktu runtuhnya Kerajaan Majapahit sekaligus bangkitnya Islam Demak. Sedangkan gambar kura-kura merupakan simbol yang digunakan oleh Dinasti Ming Tiongkok pada akhir abad 13 sebagai lambang kemenangan. 

2. Masjid Kudus
 Masjid Kudus atau Masjid Menara didirikan tahun 1537 oleh Kyai Ja’far Sodig atau Sunan Kudus. Pengaruh arsitektur Hindu terlihat pada menaranya serta gerbang-gerbang yang dipakai sebagai pintu masuk. Pengaruh Cina yang mencolok pada Masjid ini antara lain adalah hiasan-hiasan piring porselen Cina pada dinding-dinding Masjid. Bahkan di dinding menaranya terdapat piring-piring yang berasal dari negeri Cina.
Sistim konstruksi kayunya yang juga menggunakan 4 buah soko guru seperti halnya konstruksi kayu Masjid Demak. Hipotesa yang mungkin adalah konstruksi kayu Masjid Kudus juga dikerjakan oleh tukang-tukang kayu Cina dari galangan kapal di Semarang. Menurut cerita tutur setempat ilmu pertukangan dan ukiran kayu di daerah Kudus adalah warisan dari Kyai The Ling Sing, yang makamnya terletak tidak jauh dari Masjid Menara Kudus dan tahun kematiannya diperingati setiap tanggal 15 suro (Muharam).

3. Masjid Mantingan
 Bentuk Masjid Mantingan juga menggunakan sokoguru, atapnya bersusun tiga, adanya serambi didepan, denahnya berbentuk segi empat. Masjid ini didirikan pada th. 1559 pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat sesuai candra sengkala yang berbunyi ”Rupa (1) Brahmana (8) Warna (4) Sari (1)” = 1481 Saka = 1559 Ms.
Ukiran pada dinding Masjid yang terbuat dari batu padas kuning jelas bermotif Cina, merupakan salah satu bukti adanya campur tangan pertukangan Cina di Masjid ini. Bahkan R.A. Kartini (pahlawan wanita nasional yang asal Jepara) pernah menulis dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis), mengatakan bahwa dia pernah mengunjungi tempat permakaman Sultan Mantingan (Pangeran Hadliri), dimana di dalamnya banyak terdapat ukir-ukiran dan serta rumah-rumahan yang bercorak Cina.
Tokoh pertukangan kayu yang berperan besar di daerah Jepara adalah Tjie Wie Gwan. Makam Tjie Wie Gwan terletak di antara makam pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat. Ukir-ukiran kayu yang indah bergaya Cina di makam dalam komplek Masjid Mantingan tersebut diperkirakan orang setempat sebagai karya Tjie Wie Gwan, karena ia meninggal beberapa tahun setelah meninggalnya Ratu Kalinyamat. 
Selanjutnya....

LAKSAMANA CHENG HO Pendahulu Colombus dan Vasco Da Gama ini pernah singgah dan bertabligh akbar di Surabaya

Petualang Christopher Columbus dikenal hebat karena berhasil menemukan benua Amerika pada tahun 1492. Namun tahukah Anda bahwa ada penjelajah yang jauh lebih hebat? Dia adalah Laksamana Cheng Ho, seorang Tionghoa Muslim yang hidup sekitar 6 abad lalu.
Selama hidupnya, Cheng Ho atau Zheng He melakukan petualangan antarbenua selama 7 kali berturut-turut dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433). Tak kurang dari 30 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pernah disinggahinya. Pelayarannya lebih awal 87 tahun dibanding Columbus. Juga lebih dulu dibanding bahariwan dunia lainnya seperti Vasco da Gama yang berlayar dari Portugis ke India tahun 1497. Ferdinand Magellan yang merintis pelayaran mengelilingi bumi pun kalah duluan 114 tahun.


 Ekspedisi Cheng Ho ke 'Samudera Barat' (sebutan untuk lautan sebelah barat Laut Tiongkok Selatan sampai Afrika Timur) mengerahkan armada raksasa. Pertama mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga mengerahkan kapal besar 48 buah, awaknya 27 ribu. Sedangkan pelayaran ketujuh terdiri atas 61 kapal besar dan berawak 27.550 orang. Bila dijumlah dengan kapal kecil, rata-rata pelayarannya mengerahkan 200-an kapal. Sementara Columbus, ketika menemukan benua Amerika 'cuma' mengerahkan 3 kapal dan awak 88 orang.

Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
         
Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di masa kini. Desainnya bagus, tahan terhadap serangan badai, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas magnetik.

         
Mengubah Peta Pelayaran Dunia

Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao. Nama itu dalam dialek Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po. Sumber lain menyebutkan, Ma He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.

Saat Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming. Para pemuda ditawan, bahkan dikebiri, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak terkecuali Cheng Ho yang diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing).

Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil menunjukkan kehebatan dan keberaniannya. Misalnya saat memimpin anak buahnya dalam serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.

Ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani, kaisar oke saja. 
Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.
         
Pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku Zheng He's Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.
         
Dalam mengarungi samudera, Cheng Ho mampu mengorganisir armada dengan rapi. Kapal-kapalnya terdiri atas atas kapal pusaka (induk), kapal kuda (mengangkut barang-barang dan kuda), kapal penempur, kapal bahan makanan, dan kapal duduk (kapal komando), plus kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang bertugas di bagian komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.
         
Berbeda dengan bahariwan Eropa yang berbekal semangat imperialis, armada raksasa ini tak pernah serakah menduduki tempat-tempat yang disinggahi. Mereka hanya mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politik ke negeri asing, serta mendorong perniagaan Tiongkok. Dalam majalah Star Weekly HAMKA pernah menulis, "Senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah 'senjata budi' yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi."
         
Sementara sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, tujuan ekspedisi itu adalah memperkenalkan dan mengangkat prestise Dinasti Ming ke seluruh dunia. Maksudnya agar negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata).
         
Bukan berarti armada tempurnya tak pernah bertugas sama sekali. Laksamana Cheng Ho pernah memerintahkan tindakan militer untuk menyingkirkan kekuatan yang menghalangi kegiatan perniagaan. Jadi bukan invasi atau ekspansi. Misalnya menumpas gerombolan bajak laut Chen Zhuji di perairan Palembang, Sumatera (1407).
         
 Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memang pernah singgah di kepulauan Nusantara selama tujuh kali. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat ini tersimpan di Museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka.
         
Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon.

Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
         
Perjalanan dilanjutkan ke Tuban (Jatim). Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan dilanjutkan ke Surabaya. Pas hari Jumat, dan Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Di kraton, Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan audiensi dengan rombongan bahariwan Tiongkok ini.

         
Muslim Taat

         
Sebagai orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata 'haji'.

Bulan Ramadhan adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 sesudah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia tenggelam dalam kegiatan keagamaan sampai Idul Fitri tiba. 

 Setiap kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA.

Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.

Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.
         
Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.




Selanjutnya....