Imlek di Mata Muslim Tionghoa

Liputan6.com, Semarang: Tahun baru Cina atau Imlek dirayakan secara meriah oleh warga Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia. Bagaimana dengan warga Tionghoa yang telah memeluk Islam? Seorang warga Semarang, Jawa Tengah, Tjio Tjik Hok, menyimpan jawabannya.

"Imlek merupakan warisan leluhur yang harus dihormati. Tapi, saya tidak merayakannya di rumah," tegas warga Jalan Abimayu V, Semarang, ini. Pria kelahiran 12 Januari 1952 ini memeluk agama Islam sejak usia 20 tahun. Meski telah berganti nama menjadi Budi Sulaiman, ia tidak keberatan dipanggil dengan nama Tionghoanya. "Saya tidak pernah menyesal terlahir sebagai etnis Tionghoa atau Cina. Saya justru merasa bangga karena bisa mengetahui Islam," kata suami Eni ini. "Padahal, awalnya tidak pernah mengenal huruf Arab!"

Pada 1982, mualaf ini menunaikan Rukun Islam kelima, yakni menunaikan ibadah haji. Sejak itu, gelar haji pun disematkan di depan namanya, Tjio Tjik Hok. Belakangan, karena sering diundang menjadi penceramah atau mubaligh, ia pun disebut juga sebagai kyai. "Hidayah Islam saya rasakan ketika menderita pendarahan nadi. Penyakit itu tidak kunjung sembuh meski telah diobati dokter," cerita Tjio Tjik Hok. "Melalui pertolongan seorang kyai di Jakarta, saya sembuh. Akhirnya, saya memeluk Islam."

Menurut Tjio Tjik Hok, tahun baru Cina atau Imlek lebih dekat dengan agama Khonghochu. Meski demikian, ia tetap menghormati warisan leluhurnya itu dan menjalin silaturahim dengan keluarga lain. Padahal, mereka masih menganut kepercayaan Khonghucu. "Silaturahmi antarkeluarga juga merupakan bingkai warisan leluhur yang harus dijaga," tegas ayah dari empat anak ini.

Di usia senjanya, Tjio Tjik Hok berharap pilihan agama tidak menjadi sumber perpecahan. Tingkah laku yang baik dan contoh tindakan terpuji, katanya, akan menjadikan orang tertarik dengan pilihannya itu. "Karena tidak ada paksaan dalam beragama," tegas Tjio Tjik Hok.(ARL/SHA)